Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Tidaklah diragukan bagi segenap insan, bahwa hidup di alam dunia ini adalah cobaan. Allah berfirman (yang artinya), “Allah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (Al-Mulk : 2)
Ujian yang akan menunjukkan jati diri seorang hamba; apakah dia termasuk orang yang jujur dan tulus mengabdi kepada Allah ataukah termasuk pendusta. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia mengira, mereka dibiarkan begitu saja mengatakan ‘Kami beriman’ lalu mereka tidak diberikan ujian. Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang dusta.” (Al-‘Ankabut : 2-3)
Inilah kehidupan. Ujian demi ujian akan dihadapkan kepada kita, suka atau tidak suka, dalam keadaan susah atau senang. Ujian yang akan menampakkan kualitas penghambaan kita kepada Allah. Sudahkah kita memiliki bekal untuk menghadapi ujian dan cobaan ini?
Salah satu diantara bekal utama untuk menghadapi ujian ini adalah ilmu agama. Ini adalah kunci kebaikan bagi diri seorang hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah akan pahamkan dia dalam agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu -agama- maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Di samping itu, seorang hamba juga membutuhkan doa. Oleh sebab itu setiap hari kita diajari untuk memohon hidayah kepada Allah di dalam sholat kita. ‘Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus’, demikian isi permintaan yang tak kurang kita ulangi setiap hari minimal tujuh belas kali. Jalan yang lurus ini menggabungkan antara ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Tanpa hidayah dari Allah, maka kita tidak akan mendapatkan ilmu, tidak bisa beramal, dan bahkan tidak bisa beriman.
Kemudian, diantara bekal untuk menghadapi ujian ini adalah kesabaran. Sabar dengan ketiga macam bentuknya; sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar ketika mengalami musibah dan bencana. Diriwayatkan, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Sabar dalam iman bagai kepala bagi jasad. Apabila kepala terpotong tidak ada lagi kehidupan bagi jasad. Ketahuilah, tidak ada keimanan bagi orang yang tidak punya kesabaran.”
Kebaikan demi kebaikan akan dipetik oleh seorang hamba ketika sabar selalu mewarnai perjalanan hidupnya. Sabar dan sabar. Sabar dan sabar. Hanya saja, untuk bersabar ada tiga hal yang harus diperhatikan agar sabar itu menjadi benar. Pertama; sabar harus ikhlas karena Allah, bukan karena ingin menampakkan keteguhan dan kehebatan kepada manusia. Kedua; sabar harus dengan senantiasa memohon pertolongan kepada Allah dan bersandar kepada-Nya, bukan kepada kemampuan diri sendiri, sebab kalau tidak demikian sabar itu akan berubah menjadi ujub dan kesombongan. Ketiga; sabar harus diterapkan dalam perkara yang dicintai dan diridhai Allah, kalau tidak demikian maka orang akan ‘bersabar’ dalam hal-hal yang menyimpang dari agama; tentu hal ini tidak benar dan tidak mendatangkan kebahagiaan yang hakiki.
Diantara bekal utama untuk menghadapi cobaan demi cobaan ini adalah keikhlasan, dan inilah bekal paling pokok bagi setiap insan. Sebab keikhlasan inilah tujuan hidup kita. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56). Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya dengan hanif…” (Al-Bayyinah : 5). Tanpa keikhlasan semua amal salih dan kerja keras hanya akan menjadi debu yang beterbangan dan penyesalan berkepanjangan.
Kemudian, telah menjadi ketetapan Allah bahwa cobaan demi cobaan ini akan datang silih berganti, oleh sebab itu salah satu modal utama seorang hamba untuk menghadapinya adalah dengan senantiasa bersandar kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah menjadi takutlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka, dan mereka bertawakal hanya kepada Rabb mereka.” (Al-Anfal : 2)
Oleh sebab itu tawakal menjadi bagian yang sangat penting di dalam keimanan. Bahkan, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits yang menceritakan tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab bahwa salah satu ciri utama mereka adalah ‘mereka bertawakal hanya kepada Rabb mereka’. Inilah rupanya salah satu rahasia keutamaan tawakal di dalam hidup. Karena dengan tawakal itulah seorang hamba akan mengembalikan segala masalah kepada Allah, Allah lah yang menjadi tempatnya bersandar dan menggantungkan hati. Dengan demikian hatinya akan menjadi tenang dan tentram. Semua telah Allah takdirkan, maka untuk apa berputus asa atas apa-apa yang luput dari kita dan dengan alasan apa kita berbangga-bangga dan pongah dengan keberhasilan dan prestasi kita, toh semuanya adalah pemberian Allah semata!
Kemudian, salah satu obat paling mujarab untuk menyembuhkan luka-luka akibat terjangan cobaan dan fitnah dalam hidup ini adalah taubat dan istighfar. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beliau beristighfar dalam sehari bisa sampai tujuh puluh atau bahkan seratus kali. Tentu apa yang beliau lakukan bukanlah sekedar basa-basi atau menjaga image dan mencari simpati. Inilah bukti kesadaran seorang hamba yang sangat kuat tentang agungnya nikmat Allah kepada dirinya sementara syukur yang dilakukannya tidaklah seberapa bahkan penuh dengan kekurangan; sehingga hal itu menuntut dirinya untuk terus dan terus memohon ampunan, bukan malah menebar keangkuhan dan bertambah arogan.
Oleh sebab itu pula, kita masih ingat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tuntunan doa istighfar kepada sahabat terbaiknya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu. Sebuah doa yang sangat indah dan mencerminkan perendahan diri kepada Allah. ‘Allahumma inni zhalamtu nafsii zhulman katsiiraa wa laa yaghfirudz dzunuuba illa anta, faghfirlii maghfiratan min ‘indik, warhamnii. Innaka antal ghafuurur rahiim’. Artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan banyak kezaliman, dan tiada yang bisa mengampuni dosa selain Engkau. Maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalau seorang manusia sekelas Abu Bakar saja diajari untuk membaca doa ini, maka bagaimanakah lagi dengan kita; tentu kita lebih butuh kepada taubat dan istighfar. Kita harus lebih banyak bercermin dan menyadari dosa dan kesalahan kita. Aduhai, betapa malangnya kita jika Allah tidak mengampuni dosa-dosa kita, betapa malangnya kita jika tidak diberi taufik untuk bertaubat kepada-Nya dan menyadari kesalahan kita. Aduhai betapa malangnya apabila kita justru memandang kesalahan kita sebagai kebaikan dan jasa. Aduhai betapa malangnya apabila hati kita semakin menghitam, mata kita pun mengering tidak pernah mengalirkan air mata karena-Nya.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti orang yang sedang duduk di bawah gunung. Dia takut apabila gunung itu runtuh menimpanya. Adapun seorang fajir akan melihat dosa-dosanya hanya seperti seekor lalat yang berlalu di depan hidungnya, lalu dia mengusirnya dengan begini -beliau melewatkan jarinya di hadapan hidungnya-.” (HR. Bukhari). Ya, Allah sucikanlah hati-hati kami ini…